Legenda seorang penggembala kambing yang
bernama Khalid di Kaffa di Ethiopia sana, yang mendapati para kambingnya sontak
menjadi bersemangat, menggebu setelah mengunyah serumpun buah kemerahan yang
mirip cherry, dipercaya menjadi titik awal di mana kopi itu berasal. Pusat
produksi qahwah sekitar 1000 – 1500 tahun lalu ada di kota pelabuhan Mocha di
Yemen, kemudian menjadi kata serapan qahve oleh orang Turki yang menyajikan
sebagai minuman kepada tamu-tamu pedagang Italia. Para pedagang Italia
inilah yang kemudian membawa caffe (kata qahve yang diserap) ke daratan Eropa
dan mulailah menyebar ke seluruh dunia menjadi minuman ajaib yang digilai
banyak orang.
Lebih sering orang (di Indonesia)
mengenal kopi hanya 2 saja, kopi tubruk dan kopi instan dan juga dikenal kopi
arabica dan kopi robusta.
Kopi ada 4 jenis, yaitu kopi arabica
(Coffea arabica), kopi robusta (Coffea canephora), kopi liberica (Coffea
liberica) dan kopi excelsa (Coffea dewevrei). Yang 2 belakangan itu memang
jarang sekali didengar apalagi dilihat. Saya sendiri tidak pernah melihat
penampakan 2 jenis kopi yang terakhir itu. Konon kopi liberica merupakan “best
of the best” dari segala kopi di dunia ini. Sayangnya kopi liberica ini sangat
kecil volume yang beredar di dunia. Ajaibnya, kopi liberica ini tanamannya
termasuk tanaman hutan dan banyak terdapat di pedalaman Kalimantan sana dan
sudah berabad lamanya menjadi minuman tradisional suku Dayak di sana. Pohon
liberica ini bisa mencapai ketinggian 30 m, dan biji kopi liberica merupakan
biji kopi dengan ukuran terbesar di dunia. Kalau kopi excelsa, sayangnya saya
tidak punya cukup referensi untuk bercerita.
Kopi yang beredar di dunia secara umum
terbagi menjadi 70% Arabica dan 30% Robusta. Kita patut berbangga bahwa
Indonesia merupakan penghasil the best Arabica coffee di dunia, walaupun bukan
penghasil Arabica terbesar di dunia.
Arabica sendiri masih terbagi lagi
menjadi 2, yaitu commercial arabica dan specialty arabica. Commercial arabica
adalah arabica ‘pasaran’ yang walaupun grade’nya lebih tinggi dari robusta,
tapi tidak memiliki rasa specific yang unik. Sementara specialty arabica HANYA
dihasilkan oleh Indonesia. Commercial arabica mendominasi dunia dengan 63%,
yang terutama dihasilkan di Columbia dan Brazil. Sementara specialty arabica
hanya mengisi 7%. Ada 7 macam kopi arabica, 6 di antaranya dihasilkan oleh
Indonesia, dan hanya 1 dihasilkan oleh Jamaica yang sangat terkenal dengan nama
Blue Mountain. Kopi Blue Mountain yang asli memang cukup mahal, mantap dan
enak.
Adapun 6 jenis kopi arabica Indonesia
adalah: Gayo di Aceh, Mandheling di Sumatera Utara, Java di Jawa (terutama Jawa
Timur), Kintamani di Bali, Toraja di Sulawesi dan jenis baru Mangkuraja dari
Bengkulu. Toraja sendiri sering juga disebut dengan Kalosi Toraja, Mandheling
kadang ditulis dengan Mandailing. Ada juga orang yang menggolongkan Gayo dan
Mandheling menjadi satu yaitu Sumatra Coffee, seperti penggolongan yang
dilakukan oleh Starbucks.
Sebenarnya ada 1 jenis lagi yang
sangat-sangat spesifik dan sangat mahal, yaitu kopi luwak. Walaupun masih
banyak kalangan yang sinis dan berpendapat bahwa kopi luwak ini hanyalah mitos
semata, tapi pada kenyataannya kopi luwak memang satu-satunya kopi paling
exotic dan langka di dunia. Penghasil kopi luwak yang paling kuat hanyalah
Indonesia dan Phillipines. Di Indonesia masih kalah dengan Phillipines yang
sudah mulai menekuni dan mencoba menternakkan luwak ini, dan banyak sekali para
spesialis yang memiliki ilmu khusus melacak keberadaan luwak di
pegunungan-pegunungan. Kopi luwak ini dihasilkan oleh seekor binatang sejenis
musang yang memakan buah kopi (coffee cherries) yang betul-betul matang pohon,
dan mengeluarkan kotoran dengan biji kopi yang masih utuh di tengah kotoran
yang tersebar di seluruh perkebunan kopi di pegunungan-pegunungan. Biji kopi
yang tidak tercerna dan ikut keluar bersama kotoran tsb sudah mengalami proses
alami di sistem pencernaan binatang itu, yang setara dengan fermentasi dan
pemanggangan khusus kelas tinggi. Konon rasanya sangat unik, selangit dan
membuat ketagihan. Sayangnya harganya tidak bikin ketagihan sama sekali, tapi
kebalikannya, yaitu menakutkan. Harga per kilogram kopi ini sekitar Rp. 2 juta
tergantung kualitas. Jika ingin menikmati kopi ini ya siapkan kocek tebal,
sementara yang berkocek biasa-biasa saja boleh disarankan untuk membeli saja
kopi yang sudah siap konsumsi, grounded, dengan tingkat roasting medium roast
atau dark roast. Merek kopi ini mirip dengan nama binatang legendaris tadi, dan
menurut empunya merek, campuran kopi luwak asli 3%. Memang mantap dan lain
sekali.
Arabica dan Robusta Kopi arabica hanya
bisa tumbuh di ketinggian sekitar 800 – 1000 m dpal, sementara saudara
dekatnya, robusta tumbuh di ketinggian di bawah itu. Jika arabica tumbuh lebih
rendah dari 800 m dpal, dikuatirkan tanaman kopi ini tidak tahan terhadap
penyakit kopi, sementara sesuai namanya jenis satu lagi memang lebih robust
dari penyakit-penyakit kopi alias ndableg, sehingga dinamakan robusta. Arabica
sendiri jelas merujuk tempat di mana asal-usul minuman ini berasal. Tanaman
robusta di Indonesia kebanyakan merupakan peninggalan jaman penjajahan Belanda.
Uniknya, kopi arabica yang tumbuh di satu daerah jika dicoba ditanam di daerah
lain, akan berubah aroma, rasa dan keunikannya. Misalnya kopi Gayo dibawa ke
Sulawesi, atau kopi Toraja dibawa ke Jawa, ditanam di tempat yang bukan habitat
aslinya, hasil panennya tidak akan sama lagi dengan induknya. Apapun sistem
penanaman itu, kopi arabica tadi akan berubah karakteristiknya sesuai dengan
tempat penanaman. Robusta di Indonesia banyak ditanam di Sumatera bagian
selatan, termasuk Lampung dan sekitarnya, dan juga di Jawa. Indonesia cukup
banyak menghasilkan kopi ini dan salah satu pemasok penting dunia.
Sekarang bagaimana dengan kopi instan?
Sifat dari kopi yang sudah digiling adalah tidak larut dalam air, sehingga
untuk kepraktisan dipikirkan satu cara untuk menjaga kenikmatan kopi sekaligus
praktis. Tahun 1901, seorang warga Amerika keturunan Jepang, Satori Kato
menemukan metode freeze-dried kopi yang menjadi cikal bakal kopi instan. Di
tahun 1906 seorang ahli kimia Inggris, George Constant Washington yang tinggal
di Guatemala, menemukan metode untuk produksi besar-besaran kopi instan ini.
Barulah di tahun 1938 kopi instan dikomersialkan dalam skala industri oleh
Nescafe. Kopi instan mayoritas terdiri dari robusta yang dicampur dengan
arabica dengan komposisi yang berbeda tiap merek dan jenis yang ada di pasaran.
Arabica menang di aroma, flavor dan taste, tapi meninggalkan rasa asam di ujung
lidah sehabis menyeruput double-shot espresso. Sementara robusta memiliki
keunggulan yang dinamakan “body” yang kuat dan sedap. Body di sini bisa juga
disebut dengan ‘after-taste’ yaitu rasa yang ditinggalkan di lidah kita setelah
tetes terakhir dicecap. Rasa, bau dan aroma kopi yang menyenangkan akan tinggal
agak lama dan tidak ada jejak rasa asam. Masing-masing keunggulan itulah yang
dicoba dikombinasikan dengan blending ke 2 jenis tsb sesuai komposisi dan
‘ramuan’ tertentu sesuai dengan resep masing-masing merek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar